Rabu, 02 Juni 2010

SYARAT-SYARAT MUJTAHID

1. Mengetahui segala Ayat dan Sunnah yang berhubungan dengan hukum.
2. Mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma`kan
oleh para ahlinya.
3. Mengetahui Nasikh Mansukh.
4. Mengetahui dengan sempurna bahasa Arab dan ilmu-ilmunya
dengan mendalam (nahwu, sharaf, bayan, ma`anie dan badie),
walhasil mengetahui bahasa arab beserta ilmu-ilmu qawaidnya
dan ilmu-ilmu balaghahnya.
Sehingga dapat mengetahui mana Kalam Sharieh, mana Kalam
Dhaahir, mana Mujmal, mana haqiqat, mana Madjaz, mana `Aam,
mana Khash, mana Muhkam, mana Mutasyabih, mana Mutlaq,
mana Muqaiyad, mana Nash, mana Fahwaa, mana Lahan,
mana Fahmum.
5. Mengetahui Ushul Fiqih.
6. Mengetahui Asrarusysyari`ah (Rahasia-rahasia Tasyrie`).
7. Mengetahui Qawa`idil Fiqhi (qaedah-qaedah fiqih yang
kulliyah yang diistinbathkan dari dalil-dalil Kully dan
maksud-maksud Syara').

(Referensi dari buku Prof. DR. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy.)

http://www.mail-archive.com/keluarga-islam@yahoogroups.com/msg09762.html

IJTIHAD

Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inila Nabi mengungkapkan kata-kata:
“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”
artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally)
menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya
berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

http://almanaar.wordpress.com/2007/10/22/pengertian-ijtihad

Tarjih

a). Pengertian
Secara etimologi, tarjih berarti menguatkan, sedangkan secara terminologi yaitu :
تقوية إحدى الإمارتين على الأخرى ليعمل بها
Artinya:
"menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut"
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajah (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan.
b). Cara pentarjihan
Dari segi sanad
Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan melalui 42 cara, di antaranya dikelompokkan dalam bagian berikut:
• Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya
• Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
• Pentarjihan melalui cara menerima hadis dari rasul
Dari segi matan
Menurut Al-Amidi ada 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, antara lain:
• Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.
• Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
• Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar, karena muhkam lebih pasti disbanding mufassar.
• Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran.
Dari segi hukum atau kandungan hukum
Menurut Asy-Syaukani ada beberapa cara, yaitu:
• Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan. Berdasarkan hadis Rasulullah:

مااجتمع الحلال والحرام الاغلب الحرام
Artinya:
"tidaklah berkumpul antara yang halal dan yang haram, kecuali yang haram lebih dominan."

• Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang teks yang bersifat menetapkan dengan teks yang bersifat meniadakan.
• Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka yang dipilih adalah yang pertama, menghindarkan terpidana dari hukuman.
• Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang di dalamnya mengandung hukuman berat.

Tarjih menggunakan factor (dalil) lain di luar nash
Menurut Asy-Syaukani diantara caranya adalah :
• Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain, baik dalil al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas, dan lain-lain.
• Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya al-Quran dan penafsirannya.
• Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-wurud daripada dalil yang tidak memuat hal tersebut.
• Mendahulukan dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
• Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengamalan dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.
Dari segi hukum ashl
Menurut Asy-Syaukani pentarjihan qiyas dari hukum asal bisa menggunakan 16 cara, di antaranya:
• Menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath'I dari yang zhanni.
• Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh, sedangkan ijma tidak.
• Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
• Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
• Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan dinasakh.
• Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus.
Dari segi hukum cabang
• Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya.
• Menguatkan hukum cabang yang illatnya diketahui secara qath'I dari yang hanya diketahui secara zhanni.
• Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.
Dari segi illat
Pentarjihan ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
a. Pentarjihan dari segi cara penetapan illat, antara lain:
• Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
• Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis, dan pemilihan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara illat dengan hukum.
• Menguatkan illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari sifat yang ditetapkan melalui munasabah, karena isyarat nash lebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.
b. Pentarjihan dari sifat, antara lain:
• Menguatkan illat yang bisa diukur daripada yang relative
• Menguatkan illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain daripada yang terbatas pada satu hukum saja.
• Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat (penunjang). Dan dikuatkan illat yang berkaitan dengan kemaslahatan yang bersifat hajjiyat daripada yang bersifat tahsiniyat (pelengkap).
• Menguatkan illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, daripada illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.
Pentarjihan qiyas melalui faktor luar
Pentarjihan dengan cara ini dapat dilakukan antara lain dengan:
• Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat.
• Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat (bagi yang mengakui bahwa pendapat sahabat sebagai salah satu dalil).
• Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu' daripada yang hanya berlaku untuk sebagian furu' saja.
• Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil

Dalam menentukan hukum pada suatu persoalan yang tidak hanya memiliki satu dalil yang mana antara dalil tersebut ada pertentangan maka hal ini menjadi bahasan ta'arud al-adhillah. Dalil-dalil tersebut berada pada tingkatan yang sama, artinya bisa antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat.

Adapun dalam hal penyelesaian ketika ada dua dalil yang bertentangan para ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat dan terbagi menjadi dua kelompok, yakni para ulama Hanafiyah dan ulama Syafi'iyah. Mereka menetapkan beberapa tahapan dalam penyelesaian ta'arud al-adhillah. Dan penggunaan metode penyelesaian ta'arud al-adhillah harus dilakukan secara berurutan.

http://www.homeartikel.co.cc/2009/11/tarjih.html

ITTIBA’

Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu inti dan pondasi dasar agama islam. Juga merupakan syariat paling agung yang diterima dan diketahui dengan pasti. Dalil-dalil syar’i yang shahih, yang menjelaskan dan menegaskan hal ini sangat banyak. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr: 7)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Qs. An-Nisaa: 80)
Akan tetapi ketika pemahaman telah kacau dan kaki telah tergelincir, hal itu tidak menghalangi adanya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang menyimpang dari meniti dan menetapi jalan tengah yang lurus. Sehingga kebutuhan untuk menjelaskan dan menerangkan hal ini menjadi lebih besar dan lebih wajib.
Oleh karena itu, di dalam pelajaran ini aku akan berusaha memberikan perhatian kepadanya untuk menampakkan hakikat dan hukum ittiba’, menerangkan kedudukan dan tanda-tandanya serta menjelaskan jalan yang membantu untuk mewujudkannya dan sebagian penghalang-penghalangnya. Dengan berharap kepada Rabbku (Penguasaku) Yang maha pengampun agar memberikan petunjuk kepada kebaikan dan memperbaiki niat ini. Sesungguhnya Dia maha berkuasa atas segala sesuatu dan berhak menjawab do’a.
Ittiba’ Menurut Bahasa
Ittiba’ adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (mengikuti). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.

Dikatakan ittiba’ kepada al-Qur’an, yaitu mengikutinya dan mengamalkan kandungannya. Dan ittiba’ kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu meneladani, mencontoh dan mengikuti jejak beliau. (1)
Ittiba’ Menurut Istilah Syar’i
Yaitu meneladani dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan. Beramal seperti amalan beliau sesuai dengan ketentuan yang beliau amalkan, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Dan disertai dengan niat dan kehendak padanya.

http://ekonomisyariat.com/belajar-islam/ittiba%E2%80%99-kepada-nabi-menurut-al-quran-dan-sunnah.html

TAKLID

Taklid secara istilah ( langsung saya mulai dengan pengertian secara istilah agar tidak terlalu panjang pembahasannya ) :

1. Menurut Dr. Wahbah zuhaili dalam kitabnya Ushul al-fiqh al-islami : taklid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Apa yang dimaksud dalil ? pengertian sederhana dari dalil menurut ulama ushul fiqh adalah Segala sesuatu yang bisa membuat kita mengetahui "matlub khabari" (kesimpulan ). Jika kita ditanya wajibnya sholat, maka jawabannya adalah ayat wa aqimusholat wa atuzzakat (maka dirikanlah sholat, dan berzakatlah ). Ayat inilah yang namanya dalil, dan wajibnya sholat itu namanya mathlub khabari ( kesimpulan ).

2. Menurut imam al-ghazali dalam kitabnya al-mustashfa : Taklid adalah menerima perkataan orang lain tanpa dasar.

3. Menurut al-amidi dalam al-ihkam fi ushul al-ahkam adalah : beramal dengan perkataan orang lain tanpa hujjah.

Demikian pengertian taklid secara istilah.

Contoh sederhana taqlid : kita tidak tahu dalil wajibnya sholat, tapi kita setiap hari sholat karena melihat ulama dikampung kita juga sholat. Atau ada seorang ulama yang memberitahu kita bahwa sholat itu wajib tanpa memberitahukan dalinya. Ini yang namanya takild.

Taklid ada kalanya pada masalah 'aqidah, atau tentang ushul ( yang bersifat umum ). Dan taklid pada masalah aqidah ada yang mewajibkan, ada yang mengharamkan, serta ada yang menghalalkan. Yang mewajibkan adalah sebagian kecil ulama. Sedangkan Yang menghalalkan adalah pendapat hasywiah ( sekelompok golongan yang berpegang pada dzahirnya ayat ) serta 'ubaidillah bin al-hasan. Sedangkan Yang mengharamkan adalah pedapat mayoritas ulama.

Adapun pada masalah furu', juga ulama berbeda pendapat disini. Ada yang tidak membolehkan pada masalah furu'. Pendapat ini diusung oleh Ulama dzahiriah, mu'tazilah baghdad serta sekelompok besar syiah imamiah. Mereka mengatakan bahwa seseorang wajib berijtihad sesuai dengan kemampuannya. Ada juga yang mewajibkan. Pendapat ini diusung oleh Hasywiah ( pengertiannya sudah disebut diatas ) dkk. Mereka mengatakan bahwa ijtihad telah tertutup setelah imam-imam mujtahidin. Kemudian yang terakhir madzhab jumhur, yaitu jika seseorang sudah mencapai derajat mujtahid, maka taklid haram baginya, adapun jika belum sampai pada tahapan ijtihad, maka taklid menjadi wajib.
Jadi kesimpulan jika melihat pendapat jumhur ulama, taklid pada masalah 'aqidah tidak boleh...Adapun jika pada masalah furu' (jika seseorang belum mencapai derajat ijtihad ) maka menjadi wajib.

http://forum.dudung.net/index.php?topic=9597.0

TALFIQ

Dalam hasanah pemikiran isalam, istilah talfiq mulai dimunculkan dan menjadi perbincangan yang populer dalam berbagai diskusi ilmiah seiring dengan dominasi pola pikir taklid yang semakin meluas dikalangan umat islam, tepatnya abad ke -10 Hijriya yaitu setelah para ulama’ muta’akhirin mencetuskan sebuah ketetapan dalam aturan berpindah madzhab dengan batasan “ tidak mengakibatkan talfiq diantara madzahib “. Mulai saat itulah vonis hukum tidak difungsikan pada setiap amalan yang dimodifikasi denkgan pembauran beberapa keputusan yang diadopsi dari berbagai pendapat imam madzhab.
Sebagai pembuktian ideologis, sebagaian penganut madzhab Hanafiyah mengklaim bahwa keputusan larangan talfiq telah menjadi konsessus ulama’ , dan golongan syafi’iyah juga merasa perlu mencantumkan larangan dalam satu hukum yang terabadikan dalam masalah-masalah fiqh secara khusus. Ibnu hajar dala statemennya menyatakan “ pendapat yang memperbolehkan talfiq , bertentangan dengan konsessus ulama”.
A. DEFINISI TALFIQ
Secara definitif, talfiq memiliki pengertian suatu bentuk perbuatan dengan menggunakan metode yang tidak satupun mujtahid berpendapat seperti demikian. Lebih jelasnya perbuatan yang memodifikasi dari berbagai sumber madzhab dengan merangkai dua pendapat atau lebih dalam satu paket perbuatan (Qodliyah) yang mencakup rukun-rukun atau bagian-bagian yang lain, sehingga hakikat dari perbuatan itu sendiri tidak ada dasar yang diakui oleh satupun imam madzhab baik dari madzhab yang dianutnya atau madzhab dimana ia berpindah.
B. KONKLUSI STANDAR BOLEH TIDAKNYA TALFIQ
Formulasi kahir tentang standar makro yang menjadi barometer boleh dan tidaknya talfiq terangkum dalam konsep umum yang terumuskan sebagai berikut :
Setiap sesuatu yang cenderung destruktif terhadap sendi-sendi syari’at dan membuat putusan hukum atas dasar siasat dan hikmaahnya (sirri), maka talfiq dalam ranah kecenderungan ini tidak diperbolehkan.
Sebaliknya, setiap sesuatu yang memperkuat sendi-sendi syari’at danmenepis pembentukannya atas dasar hikmah dan siasat, menuju visi yang mampu menolong manusia hidup bahagia didunia dan akhirat dengan fasilitas aturan-aturan yang memudahkan beribadah sekaligus juga menjaga dan melindungi aktifitas-aktifitasnya, maka talfiq dalam ranah kecenderungan ini diperbolehkan bahkan dianjurkan.

http://khafid-al-zalzalah.blogspot.com/2010/01/talfiq.html