Selasa, 30 Maret 2010

PERJALANAN PULANG

Siang itu tak begitu terik. Awan mendung menutup sinar mentari,yang seolah enggan memancarkan sinrnya. Kulangkahkan kakiku pasti. Menuju tempat biasa aku menunggu sebuah bis,yang akan membawaku kembali pulang ke pangkuan ibunda.
Lima menit lamanya aku berdiri di tempat itu. Bus yang kutunggu tak kunjung tiba. Aku mulai gelisah.Dan ternyata, perasaan serupa pun dialamai oleh wanita muda yang berdiri disampingku.
“Minal…Minal!” sebuah teriakan membuatku menoleh ke arah sumber suara itu.
“Oh… alhamdulillah,ternyata jalur 15,” batinku.
Segera kunaiki bus itu. Lalu kutelusuri deretan bangku – bangku di depanku. Kulihat sebuah bangku kosong disamping seorang ibu yang kira – kira berusia 50 – 55 tahun. Kemudian kuletakkan tas ransel yang sedari tadi telah kujinjing. Sebagai tanda , bahwa aku akan duduk tempat itu.
Beberapa menit berlalu, tak banyak suara yang terdengar. Yang ada hanyalah teriakan kernet mencari penumpang,dan beberapa orang penumpang yang asyik dalam perbincangan mereka. Sampai akhiranya ibu yang sedari tadi duduk di sampingku itu membuka buntalan teh hangatnya dan menawarknnya padaku.
“Eh, terimaksih Bu, maaf saya sedang berpuasa,” jawabku sungkan. Dan ibu itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“ Mau turun mana Mbak ?” Tanya ibu itu,membuka pecakapan di antara kami.
“ Saya mau turun Jokteng Wetan Bu. Ibu sendiri mau turun mana ?”
“ Ibu mau turun terminal ,” jawabnya
“ Oo… memangnya Ibu mau kemana ?”
“ Ibu mau pulang ke Klaten , tadi baru saja dari berobat. Itu lho Mbak, yang pengobatan alternatif di dekat Mujamuju .”
“ Sendirian Bu ?”
“Yah… mau sama siapa lagi? Bapak juga sakit di rumah. Anak – anak semua sudah pada punya rumah sendiri. Jadi yah, begini ini kemana – mana luntang - luntung sendiri,” jawab sang ibu dengan tatapan menerawang. Tak dapat dipungkiri, bahwasanya ada semburat kesedihan dan kerinduan di balik wajah teduhnya.
Percakapan kami pun mengalir. Sepanjang perjalanan, ibu itu banyak bercerita tentang kisah hidupnya. Dari anaknya, orang tuanya, penyakit – penyakit yang dideritanya , bahkan beberapa pengalaman menarik tentang masa mudanya, saat menjadi AURI, dalam melawan penjahat tak kenal ampun para PKI terlaknat, sekitar tahun 60-an.
Lalu ibu itu terdiam, diseruputnya bungkusan teh hangat yang dari tadi digenggamnya. Mungkin ibu itu lelah, karena dari tadi beliau bercerita dan berbincang banyak denganku.
“ Mbaknya kuliah dimana ?” kembali beliau membuka percakapan, yang terhenti sesaat.
Aku tersenyum. “ Wah… ternyata gini – gini aku nampang kuliahan juga toh rupanya ?” gumamku dalam hati. “ Ehmm, saya masih SMA kelas satu kok Bu.”
“ Mbaknya bukan asli Jogja ya ?” tanyanya. Mungkin ibu itu terheran, karena aku tidak menggunakan bahasa Jawa saat berbincang dengannya.
“ Saya asli Jogja kok Bu, cuman saya udah lama tinggal di asrama yang anak – anaknya dari seluruh Nusantara. Jadi, udah terbiasa pakai bahasa Indonesia. Malah, kalau pakai bahasa Jawa agak keki gimana gitu,” jawabku menerangkan.
“ Tinggal di asrama ?! Memangnya ndak kangen sama ibu di rumah? “
“ Yah… enggak sih Bu. Soalnya, saya udah empat tahun tinggal di asrama, jadi udah terbiasa pisah sama orang tua.”
Ibu berjilbab itu kembali terdiam. Tatapannya menerawang, entah apa yang beliau pikirkan. Tiba – tiba, ada buliran air mata yang mulai membasahi pipinya. Kemudian beliau mulai berbicara lagi. Beliau mengisahkan tentang dirinya dan beberapa orang putranya. Kisahnya, diawali dengan kisah putra pertamanya. Dia adalah seorang pengusaha di kota Gudeg ini. Sudah 8 tahun dia bekerja dan berumah tangga di Jogja . Dan, meninggalkan kedua adiknya, yang masih SMU dan Kuliah. Awalnya, putra ibu itu selalu menengok ibunya dua minggu sekali. Karna, tentunya jarak kota Jogja dan Klaten tidak begitu jauh. Tapi, lama – kelamaan dia semakin jarang menjenguk ibunya lagi , dengan alasan sibuk bekerja.
Kemudian putra keduan dan ketiga. Mereka juga sama seperti itu. Tinggal tak jauh dari orang tua, namun untuk menjenguk orang tua barang seminggu atau dua minggu sekali pun enggan. Mereka seolah, tidak memikirkan, betapa seorang ibu itu sangat merindukan putra – putranya,
“ Mbak, ibu menyadari, kalau memang sudah sepantasnya seorang anak berumah tangga sendiri, tapi, kalau sampai njenguk saja ndak mau kan keterlaluan. Setegar apapun seorang ibu, ditinggal anaknya, pasti akan rapuh juga. Yah… Saat mereka pergi, ibu selalu saja mengantarkan mereka dengan senyum. Tapi sebenarnya mbak, hati ini sedih ditinggal anak. Ibu ndak mau merepotkan anak, mbikin berat hati anak. Ibu mana sich, yang rela anaknya selalu kepikiran tentang sikap ibunya ini? Lagi pula…”
Tak kuhiraukan kelanjutan perkataan ibu itu. Pikiranku menerawang, teringat akan wajah teduh seorang bunda yang telah melahirkan dan merawatku hingga aku seperti ini. Teringat saat beliau melepaskan kepergianku ketika hendak menuntut ilmu. Beliau selalu menyunggingkan senyuman tulus dari bibirnya,yang tenpa kusadari, ternyata tersirat kesedihan dibalik senyumnya itu. Terngiang pula akan nasehat – nasehatnya, yang selalu aku langgar. Bahkan pernah pula aku membohonginya. Ya Allah… betapa durhakanya aku pada beliau ? Ampuni aku ya Robb!!
Tanpa sadar, tetes demi tetes air mata mengalir dipipiku. Kubiarkan dia terus menderas. Agar aku merasa puas. Dan kini aku tersadar, betapa bangganya aku pada sebuah kedurhakaan yang selama ini telah aku l;akukan. Dan betapa angkuhnya aku, yang susah sekali memohon maaf akan kesalahanku ini.
Tiba – tiba, sebuah tepukan lembut mambuatku kembali tersadar. “ Mbak, Jokteng Wetan sudah dekat lho ! “
Segera kujinjing ranselku. Lalu kujabat tangan ibu yang duduk disampingku itu, kucium tangannya dengan penuh hormat “ Bu saya pamit dulu!”
“ Ya.. makasih ya mbak, sudah mau jadi teman curhat ibu. Hati – hati Mbak. Salam buat ibu di rumah !”
Kuanggukkan kepalaku. Lalu aku berdiri dan bersiap untuk turun ke Halte yang ke dua.
“ Jokteng…Jokteng !” Sebuah teriakan nyaring dari kernet, menandakan sudah saatnya aku turun..Segera kuturuni bus kenangan itu. Sebelumnya, ku tengokkan kepalaku ke arah ibu berjilbab tadi. Sebuah lambaian tangan mengiringi kepergianku. Entah kenapa, saat itu, hatiku yang tadi galau mendadak menjadi damai dan tenang.
* * *
Kembali kutunggu bus kedua yang akan membawaku melesat menuju rumahku. Tak berapa lama kemudian, sebuah bus Koperasi Abadi dengan jalur N muncul dari sudut jalan.
“ Samas…Samas !!“ teriakan Pak kernet,menandakan bus siap mengeruk penumpang. Segera kunaiki bus itu. Sebuah bangku kosong di dekat pintu keluar seolah menantiku untuk segera duduk diatasnya.
“ Hmff, sebentar lagi, aku akan segera pulang, bertemu dengan bunda,” gumamku.
“ Yak… selamat sore, penumpanga semuanya ,“ seorang pengamen sudah bersiap untuk beraksi.. Tak lama kemudaian mengalunlah sebuah lagu dengan iringan permainan gitarnya.
Deg…aku terpaku. Pengamen itu menyanyikan lagu Bunda milik Melly Goslow. Kembali ku teringat akan seorang ibu yang duduk di sampingku tadi. Ibu yang telah menyadarkan aku tentang segala kedurhakaanku terhadap bunda. Aku pun terhanyut akan lagu yang dinyanyikan oleh pengamen itu. Meski suaranya tidak begitu bagus, namun aku tak perduli. Yang jelas, lagu itu adalah lagu yang menjadi lagu terindah bagiku.
“ Terimakasih , semoga Anda selamat sampai tujuan !”
Pengamen berlalu,bus pun melaju. Pak Sopir, percepat busmu melaju!! Agar aku segera tiba di pangkuan Bunda. Bunda,tunggulah aku !! Anakmu yang selama ini tak pernah bisa membalas budimu!!. Tetapi, selalu saja menyusahkanmu!!



Jogjakarta , 5 Juni

Miftahul Jannati Rahmah
2005
Teruntuk Bunda. Engkaulah sang pemberi inspirasi dalam setiap karya – karyaku. Salam hormatdari putrimu yang selalu menyusahkanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar